Latolato.live – Segala pengetahuan adalah bentuk dari ingatan. Pandangan filsuf Plato ini menyadarkan saya tentang permainan lato-lato yang kini ngetren lagi. Tak hanya anak-anak dari desa sampai ke kota-kota, Presiden Joko Widodo pun mencoba bermain lato-lato. Meski terlihat amat canggung, setidaknya Jokowi pada tahun 1970-an pernah tahu bahwa permainan ini dulu di sebut sebagai ”kethek-kethek”, semacam onomatope, penamaan benda berdasarkan bunyi yang terdengar.
Orang-orang Amerika dan Inggris pun menamakan permainan lato-lato berdasarkan bunyi yang terdengar ketika dua bola beradu, yakni click-clack, click-clack. Lalu di sebutlah permainan ini dengan clackers. Hukum bahasa Inggris mungkin lebih simpel. Sesuatu yang di anggap sebagai subject atau pengganti orang ketiga di beri saja akhiran ”er” dan ketika jamak di beri tambahan ”s”. Selesai.
Tentu menjadi unik di Indonesia, nama kethek-kethek yang di kenal sejak tahun 1970-an tiba-tiba berubah menjadi lato-lato. Konon, kata ”lato-lato” berasal dari bahasa Bugis, ”kajao-kajao”, yang artinya nenek-nenek. Apa hubungannya nenek-nenek dengan permainan clackers? Cuma, saya curiga, jangan-jangan orang Bugis punya telinga yang berbeda. Bunyi kethek-kethek, menurut orang Jawa atau Bali, hanya terdengar sebagai ”nek-nek”, maka bahasa Bugis dari ”nenek” adalah kajao. ”Nenek” setelah ”di bugiskan” menjadi kajao. Ups, itu hanya dugaan terhadap evolusi kata dari bahasa. Tentu bisa banyak pendapat soal itu, kan?
Baiklah, mungkin hubungan lato-lato dengan permainan clackers benar-benar tidak ada. Ia berupa penamaan baru, penamaan yang sama sekali tidak memiliki hubungan secara konseptual dengan benda di maksud. Ilmu semantik, memperkenalkan bahwa kata adalah perlambang dari bahasa. Perlambangan itu bisa di telusuri dari peniruan bunyi, seperti clackers atau kethek-kethek tadi; bisa karena penyebutan sebagian; penyebutan sifat khas; berdasarkan penemu atau pembuat; tempat asal; bahan; keserupaan, pemendekan; dan penamaan baru.
Sangat mungkin lato-lato tidak berhubungan sama sekali dengan kata kajao-kajao atau nenek-nenek tadi. Kata lato-lato merupakan perlambangan baru terhadap permainan yang sangat terbuka dengan penamaan. Sebab, sejak di perkenalkan di Amerika dan kemudian menyebar sampai ke desa kecil di Italia bernama Calcinatello tahun 1960-an, permainan ini cuma di sebut sebagai clackers. Perkembangannya hanya terjadi pada jenis bola pendulum yang awalnya menggunakan kayu, kemudian logam, lalu kaca, dan ber-evolusi menjadi plastik polimer.
Permainan ini pernah di larang karena pada bola pendulum dari kaca terdapat zat berbahaya, yang apabila pecah bisa menyebabkan kebutaan. Satu daerah di Indonesia, kini pun melarang lato-lato di mainkan di sekolah, karena di anggap bisa merusak konsentrasi siswa belajar. Bahkan, konon bisa di jadikan senjata untuk mencederai orang lain. Cukup rasional alasan pelarangan itu. Namun, mari kita renungkan ulang beberapa fakta yang barangkali menarik dan berguna dari lato-lato.
Sejak kelahiran generasi Y (milenial, 1981-1996), generasi Z (1997-2012), terakhir generasi alpha (2013-2025), penggunaan teknologi digital semakin meluas dan menjadi kebutuhan. Itulah sebabnya mereka lebih di kenal sebagai digital native, generasi yang ketika mereka lahir sudah langsung melek teknologi digital.
Berbeda dengan generasi sebelumnya, seperti baby boomers (1946-1964) dan generasi X (1965-1980), yang lahir setelah Perang Dunia II ketika penataan terhadap dunia baru membutuhkan kerja keras dan kepastian. Beruntung, generasi X seperti saya (plato) berada pada ambang pengenalan teknologi komputer dan televisi kabel. Mereka bisa cepat beradaptasi dengan komputer dan kemudian gawai walau tidak secanggih generasi sesudahnya.
Sebagai digital native, yang hari-harinya tak bisa di pisahkan dari gawai, generasi milenial dan seterusnya, sedikit menjadi berjarak dengan realitas. Mereka memindai realitas dari perangkat gawai untuk kemudian melakukan aktivitas yang lagi-lagi berbau digital. Jean Baudrillard, seorang pemikir kebudayaan, menyebut fenomena ini sebagai simulacra. Apa yang kita pindai dari perangkat berupa gawai atau laptop adalah simulasi-simulasi dari realitas. Dia adalah turunan plato dari realitas kedua, setelah realitas tertinggi yang oleh Plato di sebut sebagai Idea. Dunia pertama-tama adalah Idea dan dunia fisik keseharian kita adalah simulacrum dari Idea, sebuah dunia tiruan yang tidak mungkin mencapai tahapan sempurna.
Selain itu, kefasihan dalam penggunaan perangkat digital pada generasi ini, sayangnya, tidak di ikuti oleh kecekatan dalam ”pengoperasian” perangkat tubuh sebagai fitrah awal eksistensi manusia. Sering kali kerja otak belum tentu sinkron dengan kerja tangan, karena terbiasa dengan template, satu sistem cetakan yang hakikatnya memiskinkan improvisasi dan kreativitas.
Satu contoh paling nyata, misalnya, ketika mesin ketik lahir dan kemudian menjadi template penemuan komputer, kebiasaan menulis tangan perlahan menghilang. Bersamanya juga hilang satu sistem penulisan huruf berdasarkan koordinasi otak sampai pada gerakan tangan. Huruf ”a” atau ”b” tidak lagi di tulis dalam satu gerakan tangan yang meliuk, memutar, dan kemudian berujung pada gerakan diagonal. Semua huruf dalam sistem mesin ketik dan kemudian keyboard komputer, cukup ”di tulis” dalam satu sentuhan. Tinggal tekan, jadilah semua huruf dalam abjad itu. Tidakkah itu menjadi padaroks? Bermaksud mempermudah, tetapi menghilangkan sebagian fungsi motorik otak dan tangan. Sayang, kan? Manusia menjadi semakin miskin karena kehilangan sebagian ingatan yang justru telah menjadi pengetahuan dalam biografi peradaban.
Saya termasuk yang senang ketika permainan lato-lato kembali ngetren di tengah-tengah era, di mana teknologi digital telah eksis sebagai ”berhala baru”, yang sangat menentukan arah peradaban manusia. Bahkan, kebudayaan kita nanti akan sangat di tentukan oleh arah pengembangan teknologi yang sama. Banyak contoh untuk ini. Kau tinggal amati, bagaimana produk teknologi analog bernama koran sebagai pencapaian perkembangan komunikasi manusia tiba-tiba harus segera bertransformasi dengan platform daring. Banyak bukti koran-koran telah mati karena kehilangan pembaca yang dugaannya bermigrasi ke platform digital.
Dalam pandangan saya (plato), jika di ibaratkan sebagai sebuah panggung konser, lato-lato adalah irama staccato. Ia mencoba memberi aksentuasi dengan nada yang mencegat ”kerutinan baru”, justru untuk memberinya di namika. Cegatan-cegatan itu berupa titik-titik dengan sentuhan nada satu-satu sehingga seluruh tatanan orkestrasi hidup ini menjadi lebih bergairah.
Oleh sebab itu, ketika pemimpin negara sekelas Presiden Jokowi serta pejabat lain turut serta bermain lato-lato, ia ibarat dirigen yang memberi aba-aba agar seluruh pemain musik serentak memainkan lato-lato. Di situlah saya menemukan ”hukum Newton ketiga” telah ikut berperan. Hukum itu berbunyi: ketika suatu gaya (aksi) di berikan kepada suatu benda, maka benda tersebut akan memberikan gaya (reaksi) yang sama besar dan berlawanan arah dengan gaya yang di berikan. Hukum ini lebih populer di sebut sebagai hukum aksi-reaksi.
Bukankah permainan lato-lato begitu? Ketika bola pendulum di berikan gaya melalui tegangan tali, maka ia akan bergerak vertikal dan membentuk setengah lingkaran sesuai dengan gaya tegangan pada tali, untuk kemudian mengalirkan gaya pada bola pendulum lainnya. Terjadilah reaksi dengan gaya yang sama dengan gerakan setengah lingkaran untuk kemudian membentur bola pendulum sebelumnya.